12/28/2014

Post

Jim

Malam ini aku tidak ingin menceritakan aib atau cerita siapapun. Hanya ingin menyampaikan rindu padamu, teman dunia maya yang sudah lama tak bertemu (dalam chat). Dinding media sosialmu penuh dengan pesan teman-teman yang sedang mencarimu. Kuharap bukan diantara mereka yang kamu ungkap kebohongannya dulu. Beberapa ada tetangga yang merindukan kehadiran keluargamu. Kamu sepertinya pindah. Kemana? Entahlah. Mereka (tetanggamu) saja tidak tahu apalagi aku (bukan siapa-siapa).

Jim, memang benar pulau yang terabaikan akan menjadi perhatian saat sudah menjadi tanah rebutan. Tanah perjanjian. Memang benar orang terdekatmu adalah mereka yang selalu ada saat bahagia dan susahmu. Bukan mereka yang hanya ada saat susahmu, hanya menawarkan kata-kata penghiburan. Meski benar mereka yang ada disisimu saat kamu bahagia tidak menampakkan iri dengki di hati, tapi siapa yang tahu hati manusia?

Akankah kita dipertemukan dua, lima, sembilan, atau sepuluh tahun lagi? Seperti relawan bantuan yang bertemu dengan korban yang ditolongnya sepuluh tahun lalu yang berkeliaran di timeline media sosialku. Jim, akankah kita bertemu sepuluh tahun lagi? Siapa yang lebih dulu, aku atau kamu? *slap

Jim, hidup butuh keluwesan bukan? Aku melihat itu di kamu. Kamu begitu luwes bercerita tentang kondisimu padaku. Namun bisa saja kamu sedang mencoba menghilangkan kecemasan dalam dirimu. Seperti kata-kata yang luwes, dia bisa saja membahayakan, bisa pula membahagiakan, meski ditulis dengan huruf yang sama. Bisa saja menusuk, padahal yang lainnya meninabobokkan. Seperti Singa yang luwes berlari, tidak tahu dia memang sedang berlari atau sedang mengejar rusa. Hidupmu juga begitu Jim, luwes. Tidak tahu berjalan dengan kesakitan yang berkelanjutan penuh dengan kebersamaan keluargamu yang membahagiakan atau berjalan dengan ketakutan yang tertutupi oleh ribuan harapan yang saling tumpang tindih. Begitu juga hidupku Jim, luwes. Berjalan dengan mencari tahu atau keingintahuan yang membuatku berjalan (sampai sekarang). Seorang yang kusanjung disana menyebut, harusnya hamba menyerahkan masalah dunia pada Tuhan dan mempermasalakan perkara akhirat pada dirinya sendiri. Tapi bukan manusia jika tidak memikirkan kalimat itu. Ya. Tuhan sudah mempersiapkan rejeki. Tapi mana mungkin datang si rejeki jika tidak dicari. Sama halnya perkara akhirat. Jim, maafkan aku yang terhasut oleh pesan-pesan di dinding media sosialmu. Sehingga tulisan penuh dengan. . .well aku tidak bermaksud demikian. Maaf, maksudku. . . Jawablah private messages ku jika kamu tak sengaja melihatnya. Hanya pesan rindu yang kusampaikan.

Jim, kamu harus tetap kuat. Berdoalah, jangan pernah bosan. Tersenyumlah meski pahit. Tertawalah meski perih. Bercengkramalah meski sedih. Hiduplah penuh semangat. Ah aku telalu naïf menyemangatimu jika aku sendiri semangatnya melempem. Jim, entah ini post ku yang keberapa tentangmu, ketiga mungkin. Tapi aku tak pernah bosan bercerita tentangmu. Meski di awal aku tidak akan bercerita atau membuka aib orang. Tapi omong kosongku bisa jadi boomerang Huft

Aku ingat kata-katamu yang sampai sekarang terngiang di kepalaku tentang cinta.

“Cinta tidak pernah meminta. Cinta bukanlah menyerahkan diri. Tapi cinta itu menerima dan memberi dengan tulus. Seperti cinta orang tua padaku. Mereka mengasihiku, aku menerima kasih itu. Dengan tulus. Aku tidak meminta. Dan mereka pun tidak memaksa. Tujuan cinta adalah mengasihi cinta yang lain. Seperti kehidupan. Tujuan kehidupan hanya satu, kematian. Setidaknya hargailah hidup untuk matimu. Hidup berhargamu yang tidak kamu dapati saat kematian datang.” Ah mengapa aku mengingat bagian ini Jim? Mengapa?


Jim kuharap kamu sedang menghabiskan musim dinginmu yang indah dengan membuat begitu banyak Olaf (manusia salju) dan menuang saus Alfredo hangat ke salad kesukaanmu. Kuharap kamu sedang tertawa terbahak-bahak mendengar lawakan dari serial komedi lawas yang sering mamamu ceritakan tiap hendak tidur. Hey Jim, kamu terlalu sering cerita padaku sampai aku hafal kebiasaanmu. Kebiasaan bodohmu yang suka mencabuti alis matamu. Jim, tidurlah yang nyenyak. Mimpikan teman semumu (aku) yang super bawel. 

Even you won’t know what I’m talking about here! It is only about you, no no about love. Your endless love.

12/27/2014

.

Kekuatan


Selamat Sabtu Pagi, semangat pagi bagi jiwa-jiwa yang selalu diberi keriangan. Semoga berkah Tuhan selalu menyertaimu. Amin

Aku selalu suka pergi ke tempat pemberhetian. Tempat berlabuh. Tempat mendarat. Tempat tujuan. Aku suka Terminal, Stasiun, Pelabuhan (meski hanya dua kali di pelabuhan), Bandara, TPA sekaligus. Kalian tahu kenapa? Karena disana lah jiwa-jiwa merindu akan dipertemukan. Perasaan campur aduk akan tersampaikan. Rasa penasaran akan terjawab. Jiwa-jiwa yang bersama akan terpisahkan. Ada yang meninggalkan dan ditinggalkan. Ada yang sengaja dibuang di tempat pembuangan. Tak diinginkan. Di tempat itulah semua perasaan ada.

Aku menjumpai berbagai macam raut wajah di tempat-tempat tersebut. Karena seorang bijak jauh disana menyebutkan jika, belajar tidak hanya di bangku sekolah, tapi semua tempat yang membuat kamu membuka mulut dan mulai berdiskusi. Perjalanan disebut sebagai pengalaman yang paling berharga, banyak pelajaran yang akan diperoleh.

Pagi ini aku pergi ke Stasiun kota. Aku mau pergi kemana? Tidak ada. Hanya pergi kesana. Mendengar pengumuman keberangkatan dan kedatangan adalah kenikmatan yang membuat hatiku berdegup. Juga suara bel Stasiun yang dibunyikan tanya Kereta akan segera berangkat. Suara bel Kereta yang mampu membuat bulu kuduk berdiri terkaget-kaget. Lantang dan penuh keyakinan. Duduk di bangku kayu panjang berwarna cokelat tua. Dingin terkena AC yang semalaman tidak dimatikan bahkan tidak dinaikkan suhunya, 21 derajat. Dengan kopi dan roti hangat  yang dibeli di kedai penganan disamping loket pembelian tiket. Menampilkan wajah bodoh yang sok penting gak punya tujuan. Siapa bilang? Tujuan kedatanganku untuk menenangkan jiwaku yang tegang. Kepala yang panas. Ampuh. Silahkan dicoba.

Belum habis kopi di gelas kertas yang sedang kupegang. Seorang wanita 40 tahunan—dari keriput di wajah dan dandanan sederhananya—duduk tepat disamping kiriku. Dengan tas kecil yang dikalungkan di pundak. Memakai kacamata a la Clark Kent dan wajah yang cantik bersih mirip wanita Arab dengan jilbab bunga-bunga. Berasa wajahku kotor pakai banget. Sesaat wanita itu menghela nafas panjang dengan suara hembusan yang besar. Aku tak sengaja menoleh karena terkejut. Wanita itu tersenyum.

“Mau kemana nak?” Aku membalasnya dengan tersenyum dan menggeleng. Segera menelan kunyahan rotiku dan menjawab pertanyaannya. Aku bahagia tidak dipanggil ‘buk’ dengan wajah boros dan badan lebih mirip timbunan puluhan kilo lemak yang memakai batik coklat dan rok panjang dengan slippers 10 ribuan.

“Hanya melihat kereta. Ibu mau kemana?”

“Mau ke Jogja. . . .yah menghibur diri sendiri.”

‘gilak nih ibuk-ibuk gaul abis, mana liburannya mbolang gini’ Dalam hati iri gitu sama ibu-ibu yang kece badai gini. Aku yang masih abege (16 tahun) ini aja hanya ngendon gak jelas di Stasiun. Ya mungkin Ibu itu—sebut saja namanya Bu Deni—sedang menikmati hidup yang memang hanya sekali ini.

“Sendirian aja bu?” Bu Deni mengangguk singkat. Dan terlihat wajahnya sendu.

“Saya tahu kereta saya bakal datang jam 1 tapi sengaja pergi jam 10 biar gak lama-lama di rumah.” Aku mulai merasa Bu Deni memiliki masalah (besar) di rumah. Semacam perjalanannya kali ini adalah untuk melarikan diri. Bukankah masalah harusnya dihadapi dan diselesaikan, tidak lari darinya? Mungkin ada banyak pertimbangan yang telah didiskusikan dengan keluarga.

“Ibu yang kuat ya. Mungkin balik dari Jogja jadi lebih fresh abis makan gudeg.” Ha ha ha, Bu Deni tertawa meski sedikit ditahan. Ada kesakitan luar biasa di dalam sana yang tidak bisa dikatakan. Aku merasa tidak enak dan kembali makan roti dan menegak kopi samapi habis. Baru sadar roti masih separo, gak kebayang nanti kalau keselek minum apa? Oke ada air toilet. Lanjut.

“Saya punya anak 3. Yang pertama usianya se-kamu. Tapi dia tidak bisa makan senikmat kamu, mengunyah roti dan meminum kopi sebebas kamu.” Jleb. Apa ada yang salah dengan cara makanku? Ah aku mengutuk cara makanku yang mirip babi kelaparan.

“Saya suka kamu makan. Jadi ikut kenyang.” Huh? Telingaku masih sehat kan? Oke aku dipuji. Karena cara makanku yang mirip babi kelaparan.

“Anak saya menderita osidi”

“Apa itu osidi?”

Obsessive Compulsive Disorder” Ahhh aku baru sadar maksud Bu Deni adalah OCD. Aku kebayang bagaimana ribet dan susahnya hidup Bu Deni harus menyesuaikan anak pertamanya yang akan berperilaku sedikit tidak umum. Akan mengurutkan makanan di meja makan sesuai warna dan ukurannya. Ah itu tidak nikmat. Meski diketahui sang penderita akan merasa puas dengan melakukan hal tersebut.

“Ah kalau begitu Ibu sudah sangat kuat selama ini.” Bu Deni mengangguk.

“Dia juga punya sakit lain yang mengharuskannya EKG tiap dua bulan sekali.” Aku hanya menoleh bingung. Tidak tahu lagi harus berkomentar seperti apa lagi. EKG (elektrokardiogram) adalah kasus serius dalam dunia medis. Bahkan aku yang pandai omong kosong sudah kehabisan kalimat basa-basi. Huft

“Anak saya yang kedua punya anemia. Anak ketiga saya daya imunnya sangat lemah. Anak usia 10 tahun yang bisa mimisan kapan saja dimana saja. Ibu mana yang tega melihat anak-anaknya selalu kesakitan?” Bu Deni terlihat meneteskan air mata dan kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aku terkejut-kejut bingung harus bereaksi seperti apa. Akhirnya aku memutuskan untuk membelikannya air putih. Barangkali bisa (sedikit) menenangkan.

“Ini buat Bu Deni. Minumlah.” Tanpa diminta aku mengelus punggungnya yang masih sesenggukkan.

Aku sekarang mengerti. Sekuat apapun seorang ibu, paling tidak bisa melihat anaknya kesakitan. Kuat. Menahan air mata di hadapan ketiga anaknya yang well seperti drama saja. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Bahkan aku yang baru saja ditemuinya, tak sungkan menceritakan kisah hidupnya. Kekuatan ada batasnya. Menumpahkan semuanya bahkan pada orang yang dikenalnya—aku. Menangis sejadinya. Dia butuh pegangan. Dia tidak mungkin mengadu pada suaminya. Suaminya tentu saja merasakan hal yang sama. Mengadu pada Tuhan. Ya, tentu saja. Jangan bercanda. Tanpa lelah meminta kesembuhan. Butuh tempat bersandar. Mungkin dengan pelariannya beberapa jam di Jogja akan membuatnya sedikit tenang. Lari dari kenyataan.

Seperti lewat jembatan berdarah. Jika tidak melewatinya maka tidak akan sampai. Terjun ke dalam bahaya, menyerahkan diri pun dilakukan jika memang itu satu-satunya jalan. Seperti itu kasih cinta seorang ibu. Kekuatannya tidak bisa dibandingkan lagi. Selalu bangun lebih awal. Membuatkan sarapan (dengan klasifikasi OCD yang diderita anak pertamanya). Membersihkan pecahan piring yang sengaja dibuang karena tidak sesuai dengan warna di meja makan. Mengantarkan ke rumah sakit. Menahan mual karena aroma obat-obatan yang menusuk indera. Membersihkan darah-darah bekas mimisan. Itu bukanlah hal yang mudah. Kurang kuat apalagi? Jika beban di hati terus-menerus hanya dipendam sendiri. Lama-lama botol arak yang tartutup rapat akan meledak. Air akan tumpah dari bak mandi yang penuh.

Selalu mengatakan tidak cemas tiap kali mengantarkan check up. Bagaimana mungkin meminta pejuang untuk tidak cemas saat akan berangkat perang?

Aku tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini banyak orang-orang asing yang tanpa diduga menumpahkan isi hatinya padaku? Apa wajahku seperti kantong besar tempat keluh kesah? Apa wajahku lebih mirip tempat berlabuh? Tapi ada satu yang harus kalian tahu. Ahli omong kosong sepertiku justru bisa jadi boomerang. I’m feeling it. I was. And I will. Terimakasih sudah mempercayaiku sebagai penampung cerita dan pendengar teriakan hati kalian.


Salam omong kosong.

12/25/2014

Left

Left
You don’t choose your family. They are God’s gift to you, as you are them

Thanks to You, the guardian Desmond Tutu. This quote filled up my whole days recently. You want to be a doctor, but your dad was wanted you to follow his footsteps to teaching. God’s blessing is parents bless. Thanks Tutu’s Family.

Family means no one gets left behind or forgotten. When someone who you think as a part of your family, and they left you so far behind, means they don’t think the same. Poor You. But still, you could free to feel they are your family. Ah, blood relation? Not always keep it up whit blood.

Sama halnya seperti yang dialami Tutu pada masa mudanya di Johannesberg. Dimana Tutu mendapatkan perlakuan yang berbeda karena warna kulitnya. Tapi berkat jasa seorang kepala sekolah dasar disana—Ayahnya. Tutu menjalani hidup terjalnya dengan bimbingan tangan Tuhan.

“Kak, dik Narsih mau cerita.” Dia mulai mengangkat kepalanya, setelah 15 menit 72 detik menundukkan kepala di kursi sebelahku. Aku mengangguk menjawab kalimatnya.

“Dik Narsih anak Tunggal. Dik Narsih bahagia akhirnya punya kakak yang pintar dan baik padaku.” Aku mulai mengeryitkan alis tak mengerti. Baru saja dia mengatakan dirinya anak tunggal. Bagaimana caranya dia kembali masuk ke rahim ibunya, dan ibunya melahirkan kakak untuknya, kemudian dia lahir setelahnya. Otakku mulai mengenyal. Dik Narsih menanggapi kebingunganku dengan senyum manis penuh olesan empedu, pahit.

“Iya. Dik Narsih bertemu seorang kakak laki-laki baik hati yang tidak keberatan kupanggil demikian. Dua tahun lalu. Aku banyak bertanya. Memang menyebalkan. Aku banyak meminta pendapatnya. Karena sudah kuanggap seperti kakak sendiri.” Aku ikut tenang melihat gaya berceritanya yang diselingi dengan senyum yang menampakkan deretan gigi cantiknya.

“Tapi. . .” Dia menghentikan ceritanya di kata pertama ‘Tapi’. Aku semakin bingung karena dia berhenti cukup lama. Hampir 3 menit. “Tapi sekarang tidak lagi. Tidak lagi banyak bertanya. Tidak lagi meminta pendapatnya. Tidak lagi merecokinya. Aku tidak punya kakak (lagi)”. Aku menyeret kursiku mendekat padanya. Mengelus punggungnya. Menenangkan. Karena wajahnya seketika menjadi sendu dan menyedihkan.

“Dik Narsih salah apa? Kenapa dik Narsih tidak diberi tahu kesalahan dik Narsih oleh kakak itu? Kenapa tiba-tiba menjauh? Memperlakukan dik Narsih dengan berbeda? Dik Narsih diabaikan. Saat dik Narsih menyapa dan temannya menyapa, maka dia akan memilih menyapa temannya daripada dik Narsih”. I was there like I’m with my pet. Just pat her for a few minutes.

Dia mulai melanjutkan ceritanya. Aku kembali menjadi pendengar. Oh ya, aku perlu memberi tahu hal yang baik kepada kalian. Aku pendengar yang baik. Kata beberapa teman yang pernah bercerita padaku. Mereka mengatakan aku akan menceritakan kembali cerita mereka disini dengan ribuan sayang dariku. Bagaimana perasaan mereka jika aku berbohong pada tulisan-tulisan disini?

Oke kembali pada cerita dik Narsih.

“Mereka (teman) yang tidak menerimaku apa adanya, satu per satu akan menjauh dan lenyap dari lingkaran hidupku. Dik Narsih sudah tidak bisa menahannya lagi. Dik tidak mengundang mereka, mereka datang sendiri. Dik berterimakasih kepada mereka yang sampai sekarang berada dalam lingkaran hidupku dan memberi semangat kebahagiaan. Tapi tetap saja dik tidak terima mengapa dik tak dianggap oleh kakak itu? Apa karena dik bukan gadis pintar yang bisa memahami kalimat-kalimat tersiratnya? Dik Narsih minta maaf sudah buat telinga kakak menguap. He he he” Aku menggelengkan kepalaku keras-keras. Dia hanya tersenyum. Tersenyum pahit.

Dia memandangku beberapa detik. Kemudian bangkit dari duduknya. Dan pergi. Menyisakan cerita yang mengiang di kepalaku. Membuatku teringat perkataan Tutu tentang keluarga. Family isn’t an important thing, family is everything. I’m thankful to God for having a family that’s been there for me and cheer me up. It’s worth more than words could ever describe. That is one of the ways I’ve been able to stay grounded is thanks to family and God. Even you left behind.

Hingga ratusan malam berikutnya aku menyadari bahwa pintu rumahku tidak pernah terbuka lagi setelah itu. Setelah Dik Narsih bercerita panjang lebar tantang pelafalannya pada istila keluarga. Pintuku tidak lagi terhubung dengan bukan darah yang seenak hati mengetuk dan seenak hati meninggalkan seperti Dik Narsih yang meninggalkanku sendiri di ruang tamu dengan cangkir teh panas yang masih penuh tak tersentuhmalam itu. 

Ditinggalkan terkadang membuat seseorang akan merangkak. Perlahan melupakan dengan sisa-sisa luka. Kesalahpahaman hadir di setiap kalimat-kalimat yang tersirat. Harusnya Dik Narsih belajar dari itu. Semoga Dik Narsih membaca ini. Aku masih menjadi pendengar yang baik. Dan terimakasih sudah meninggalkanku.



12/16/2014

Togetherness


Aku bersimpuh
Memohon, kurang hina apalagi dengan hanya meminta
Berharap hidup ini tidak sia-sia
Aku berjalan
Menapak dengan sisa usia
Berharap tidak ada yang tersakiti oleh omong kosong yang kuberi
Suaraku tertelan
Terhisap oleh keraguan
Berharap Tuhan mengampuni ketahuan yang dibungkam oleh ketakutan
Aku dimanja
Dalam pelukan Bunda
Berharap Tuhan tidak akan pernah memisahkan kami
Aku dipuja
Dalam dekapan Ayah
Berharap Tuhan berpihak pada kami untuk selalu bersama

Terkadang aku lelah. Tidak. Tapi sering kali. Apakah salah jika berbohong untuk membuat pagar pembatas buat diri sendiri. Iya pembatas. Agar mereka tidak seenaknya menghakimi. Mereka yang berkuasa. Mereka yang berlebih.

Terkadang mereka akan mulai mengasihani seorang gadis yang sedang sekarat di dalam angkutan umum. Sebagian hanya melihat dengan ribuan volta keterkejutan. Lalu bagaimana jika semua itu hanya kebohongan?

Terkadang mereka akan mulai mencaci saat seorang laki-laki sedang memukul istrinya di pasar ikan dengan menggunakan alat pancing yang dibawanya. Tak tahukah seberapa terlukanya laki-laki itu jika dia harus mengatakan, umurnya tidak bisa dihitung dengan sepuluh jari tangannya lagi. Lalu bagaimana jika semua itu hanya kebohongan?

Terkadang lelah dan menyakitkan. Saat kamu sedang sekarat, nafas sudah tersengal-sengal. Badan menggigil. Mata rasanya sudah begitu berat, bahkan hanya untuk berkedip. Tapi kamu rela membohongi dirimu, semua itu dilakukan agar rona-rona kasihan dari orang-orang sekitarmu tidak tampak menjijikkan dan terkadang lebih terasa mengatakan “jangan sampai aku sepertinya” atau “ah kasihan” atau “berilah berkah padanya, aku kasihan padanya”. Ah rasa kasihan terkadang terlalu pantas bagi sebagian orang, tapi bisa menjadi rajam pemusnah yang luar biasa ampuh.

Musuh terbesarmu bahkan akan berlutut dan menumpahkan puluhan liter air matanya hanya karena kasihan padamu. Sahabat terdekatmu yang biasa hanya mementingkan dirinya sendiri akan sibuk menahan keinginannya untuk cerita tentang dirinya sendiri dan mencari sisi baikmu untuk sekedar basa-basi sebelum kamu lenyap.

Yang paling sedih diantaranya tidak lain hanyalah orang tua. Saat paling menyesakkan bagi orang tua adalah saat mereka kehilangan anak kesayangannya. Kesedihan paling mendalam yang dirasakan keluarga adalah saat salah satu anggota keluarganya pergi dan tak akan pernah kembali. Tahukah jika keluarga adalah puzzle. Jika ada satu bagian yang hilang maka keluarga itu sudah tak lengkap lagi.

Hei, tak semua mereka yang mengasihanimu adalah dengan pikiran negatif yang ada di kepalamu, wahai gadis nyunyik. Tahukan kamu bahwa mereka sepanjang hari mengkhawatirkanmu. “Apakah dia sudah makan dengan benar?” atau “Apakah semalam dia tidur dengan nyenyak?” atau “Aku ingin sekali menghabiskan hari-hariku dengannya.”

Apakah kamu tahu? Pernyataan-pernyataan tersebut justru lebih memalukan. Karena mereka hanya akan melakukan itu saat tahu aku sudah tidak lama lagi di dunia ini. Aduh, jangan naïf. Manusia itu sama saja. Mereka akan merasa kehilangan jika aku atau siapapun diluar sana hendak pergi jauh. Atau bahkan seminggu setelah kepergianmu mereka akan tak nafsu makan karena mengingatmu. Tapi waktu berjalan tidak pernah denganmu jika kamu sudah pergi. Maka rasa tak nafsu makan itu juga hilang mungkin tak lama setelah minggu-minggu berkabung.

Serapahmu akan menyakiti mereka yang benar-benar tulus ada di dekatmu. Mereka yang selalu ada untukmu. Selalu menasehatimu. Selalu memberimu pilihan yang itu tidak akan membuatmu terluka. Mereka memberikan seluruh cinta kasihnya untukmu. Dengan segenap hati menahan luka, menahan peluh, menahan air mata untuk selalu membuatmu tertawa dan bahagia. Mengjarkanmu bagaimana memuja Tuhanmu, mengasihi sesamamu. Berbagi cerita dan lara. Bergandengan tangan berjalan bersama mengitari samudera bersamamu. Ah begitu banyak sisi bahagia yang kamu sengaja hilangkan untuk membuat mereka-mereka seolah begitu jahat dan menelantarkanmu.

Ya! Kamu benar. Terlampau benar jika tidak ada kata diatas benar. Itu hanya orang tua. Bukan yang lain. Keluarga. Bahkan banyak di luar sana keluarga yang rela memenggal kepala saudaranya untuk mendapatkan tanah warisan lebih. Banyak saudara jauh di luar sana yang tiba-tiba mendekat saat kamu mendadak sekarat. Banyak saudara yang dulunya mencaci maki karena kamu tak sepaham dengan mereka dan kembali saat hartamu sudah bisa dihakimi oleh mereka. Mereka akan memanfaatkan segala yang bisa dimanfaatkan darimu dan menjauh saat tidak ada apa-apa yang kamu miliku. Terkutuk dengan kalimat pengecut-pengecut di luar sana yang mengatakan “I’m here cause I love the way you are, no matter what! I’ll always by your side”. Aku sulit mempercayai kata-kata yang begitu MULIA dan tanpa TIPU DAYA.

Oh Tuhan. Ampuni gadis malang ini yang selalu menghilangkan syukur di hidupnya. Hukumlah dia yang mulai menghakimi kebaikan. Seburuk itukah kamu menghargai kebaikan yang diberikan kepadamu? Iblis-iblis di tubuhmu sudah enggan untuk melakukan mutasi ke tuhub manusia lain. Kamu sudah memuja iblis-iblis dalam tubuhmu. Mohon ampunlah! Masih banyak waktu. Jangan andalkan keahlianmu mengarang cerita memilukan. Kamu terlampau jahat untuk itu. Seolah kamu sudah terintimidasi seumur hidupmu. Putus asa dan rasanya semua akan berakhir sebentar lagi. Rasakan hangat pelukan yang diberikan padamu dengan hati, bukan dengan kekuatan tengkorak kepalamu. Resapi kuah sup hangat dengan lidahmu bukan dengan emosi dan nafsu yang sedang melandamu. Hilangkan keluh dalam dirimu dengan rasa bersyukur kepada berkah yang diberikan oleh Tuhan.


NB: Aku dan Kamu disini bukan sosok yang menulis tulisan diatas. Aku dan Kamu adalah sosok luka dan bahagia yang terpisan beberapa ratus juta tahun silam. Luka hidup dengan kesakitan yang menganga. Semakin hari semakin tumbuh dengan dendamnya. Dan bahagia yang setiap semakin bahagia meski hanya ditemani seuntas senyum. Dan mereka mendadak dipertemukan dalam kehidupan. Semoga mereka bisa saling melengkapi dan tidak ada penghakiman satu sama lain.

12/03/2014

Perjalanan Panjang

Terkadang hati yang terluka menampakkan rona gembira. Terkadang kegembiraan dikepung kelabu. Oh sungguh kedatangan kami di hari yang menyengat dilengkapi dengan siraman air dari surga.

Semoga perjalanan yang dilakukan oleh gerombolan serdadu perdamaian diridhoi sama Tuhan dan barokah. Amin.

Berbagai hal sudah dilalui mulai dari kehujanan, gelantungan di bus-trans, becek-beceka sama air hujan, jatuh terpeleset, naik angkot, beli cimol, ketawa, terharu, khawatir, ketakutan, sedih, nggak enak, ah semuanya ada. Semarang dengan caranya yang indah untuk ingin tidak dilupakan.

Hai, Semarang. Hari Sabtu (29-11-2014) pukul 10.30 tiba di stasiun Poncol dengan satu tas carrier dan kostum a la gembel yang sangat mendukung. Memang tujuan perjalanan kami bukan untuk menghadiri fashion show, bukan untuk mencari perhatian dengan hanya faktor kostum. Perjalanan ini adalah spesial menurutku. Terkadang perjalanan paling sederhanalah yang paling istimewa. Bukan perjalanan mewah yang terkadang disesali. Semarang, berbaiklah kepada kami tiga hari kedepan. *sungkem*

Bagi kalian yang suka bepergian keluar kota. Ada tips buat yang bepergian (travelling) di akhir tahun (November-Desember-awal Januari) hindari waktu siang menjelang sore yang sangat berpotensi untuk turun hujan. Jika memang perjalanan sudah direncanakan dan tidak bisa reschedule, maka butuh persiapan yang matang. Mulai dari jas tas, jaket anti air, payung, sandal anti-air dan bawa baju ganti lebih. Hal ini menghindarkan kejadian yang tidak diinginkan. Seperti, kehujanan sehingga baju basah dan harus membuatmu membeli baju baru yang kemungkinan besar akan mengurangi uang dalam dompetmu. Padahal itu dapat menjadi uang berlebih yang dapat kamu gunakan untuk membeli barang/benda yang mungkin dapat lebih bermanfaat daripada hanya sepotong baju baru. Tapi perjalanan kita kali ini bukan untuk travelling juga, melainkan untuk mengunjungi keluarga istimewa.

Stasiun Poncol panasnya minta diguyur, tapi selang beberapa menunggu kereta kedatangan teman-teman dari Jakarta, Semarang bukan kota yang membosankan untuk menunggu.

Panas tetiba digantikan langit gelap yang merayap mendekat dengan sedikit kilatan penghias warna kelabunya. Kereta Kertajaya dari Jakarta barusan sampai, disambut rintik hujan. Dan kesalahan adalah sadar bahwa aku tak membawa perlengkapan hujan selain jas tas. Well done. Tapi bukan teman jika tidak berbagi. Ah kurang manis apalagi hidup ini dengan berteman.

Perkenalkan, teman-temanku dari UI (Universitas Indonesia) Jakarta, Yuli (Yuls), Gina (Uni), dan Riki (Ki). Kita meninggalkan stasiun Poncol sekitar pukul 13.20 buat naik BRT (sebutan buat bus-trans Semarang). Dan bermalam di kosan teman-teman Undip (Universitas Diponegoro). Keesokan paginya, perjalanan panjang baru saja dimulai. Pukul 07.15 kita sudah naik BRT jurusan terminal Terboyo, jarak 16 kilo yang ditempuh kurang lebih 21 menit. Setelah sampai di terminal Terboyo, kita berlima (Aku, Mira, Yuli, Gina, Riki) ganti bis ke terminal Jepara yang menghabiskan waktu hampir 3 jam. Pukul 10.00 wib kita sampai di terminal Jepara dan berganti bis (lagi) ke Sambung Oyot kurang lebih 2 jam perjalanan. Dan betapa luar biasanya kita sudah dijemput mobil dari Rumah Sakit dr. Rehatta (Donorojo Leprosy Center) pukul 12 lebih beberapa menit. Dengan hati berdegup tak karuan. Kita memasuki area rumah sakit yang luas dan well, I can’t say anything but happy.

Yang mengejutkan lagi, kita diberi tempat singgah yang sekelas hotel. Lengkap dengan kamar mandi, kipas angin, dispenser. Kurang apa lagi? Berterimakasih kepada pihak RS dr. Rehatta Donorojo yang luar biasa. Tak lama kemudian, kita pergi ke rumah sakit dan bertemu beberapa orang-orang hebat. Hidup penuh rasa syukur dengan keterbatasan. Kurang indah apalagi hidup ini. Kemudian pergi melihat basecamp yang lebih mirip villa yang menghadap cantik ke pantai dengan lukusan hutan disamping kiri yang disebut gua manik, dan sebelah kanan jauh disana ada benteng Portugis. Deburan ombak dan semilir angin memabukkan membuat kita berlima merasakan berdiri bulu roma.

Yang mengharukan lagi, ada bocah 14 tahun, Supri namanya, yang luar biasa baiknya. Dia terpaksa tidak melanjutkan pendidikan sekolah dasarnya ke menengah pertama, karena keterbatasan biaya. Aku mendapatkan cerita banyak dari teman-teman. Supri selalu membantu teman-teman di 2nd JWC Januari lalu. Dia anak yang baik, tidak neko-neko dan sangat polos. Aku menahan haru dan mencoba tidak menjatuhkan air mata, tapi tidak bisa. Semangat Supri. You are a good boy!

Yang paling mengharukan adalah kunjungan ke Liposos (Lingkungan Pondok Sosial). Penuh dengan orang-orang hebat. Selama ini aku selalu menganggap perlakuan satu orang akan berbeda kepada orang-orang yang lain, mungkin faktor wajah lebih cantik dapat perhatian lebih, lebih pintar dapat perhatian lebih. Tidak. Semuanya sama. Tiada yang berbeda. Semuanya punya rasa cinta. Disinilah aku menemui tidak ada perbedaan.

Meskipun aku baru pertama kali datang kesana, rasanya aku sudah mengenal mereka beberapa bulan lamanya. Kita membaur, menyatu, bercerita dan mencurahkan isi hati. Dijamu dengan mangga, pisang, kelapa muda yang baru ambil dari pohonnya. Oh Tuhan, hidup ini terkadang memang tidak adil. Tapi Engkau sungguh maha Adil. Keluarga baru yang sebenarnya bukan baru. Karena kita sontak langsung dekat dan seolah kita telah melewati kehidupan baru ini bertahun-tahun lamanya, tidak ada canggung, tidak ada sandiwara, semua apa adanya tanpa rekayasa. Rasanya aku tidak mau pulang. Lari dari kenyataan bahwa Surabaya penuh dengan bising. Disambut dengan ketenangan dan kedamaian batiniah disini. Malam datang tanpa ragu, pemadaman bergilir setiap hari terjadi di desa ini. Tapi tak menggagalkan niat untuk bakar ikan yang siangnya dibeli dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Sosok-sosok hebat yang tidak akan kulupakan. Pak Karim, Pak Suroso, Pak Joko, Pak Sarjono, Make, Ibu Baitul, mereka sungguh luar biasa. Seperti orang tua sendiri. Yang memberi nasihat dan memberi wejangan untuk kebaikan bersama.  Aku akan sangat merindukan mereka. Bahkan sekarang aku sudah merindukan mereka.

Rintik hujan menemani perjalanan kita kembali ke rumah singgah di rumah sakit. Gelap tanpa lampu membuat bapak-bapak tercinta Pak Karim dan Pak Suroso mengantarkan kita sampai rumah singgah. Kurang baik apalagi. Hiks aku mencintai mereka semua, tanpa rekayasa.


Aku berdoa dalam diam dengan hati yang tulus memohon pengharapan pada Tuhan, agar aku bisa kembali berkunjung kesana untuk waktu yang lebih lama. Lebih dalam tinggal bersama mereka. Bismillahirrahmanirrahim.