6/29/2015

Is this Love


“Is this love? Love, I vowed to never do again.”

Saat itu Aku baru saja terluka. Siapa yang melukai? Tidak ada. Hanya saja aku kurang berhati-hati, sehingga aku mendapatkan luka.

Luka itu amat menyakitkan, sampai rasanya aku ingin terus memejamkan mata dan enggan membukanya. Hingga suatu hari datanglah Kamu, menawarkan plester luka. Tapi saat itu aku sudah memplester lukaku. Aku tidak perlu plester dobel. Aku tidak ingin membuatmu terlalu berharap, aku mengatakan aku tidak perlu plester dobel, satu saja cukup.

Waktu seakan berlari, meninggalkan masa laluku. Aku tidak lagi menghiraukan, aku yakin dengan tetap melangkah ke depan masa depanku jauh lebih baik. Dan kamu, meski kuabaikan selalu ada. Membuat aku sedikit tersentuh dengan usahamu. Tapi aku tidak ingin memaksa hatiku menerimamu. Perlahan kubukakan kesempatan itu, seolah hanya untuk kamu.

Kemudian, semuanya terasa indah. Air saja terasa begitu manis. Sengat matahari terasa teduh. Temaram seakan jadi jeda terindah antara terang dan gelap. Hari-hariku dipenuhi olehmu.

“Like flower swaying in the winds”

You came towards me, knocked my heart and make it bloomed, said You love me.

But now, You look so happy. Then leave, after stabbed me that hard. My heart hurts when I see you. Why are you happy? I picture your face clearly.

Aku tersenyum saat kamu memutuskan untuk pergi bersamanya. Aku tak tahu apa-apa, dan kemudian kamu pergi. Aku hanya (sedikit) terkejut. Dan akhirnya tidak ada lagi kamu. Tinggal aku. Hanya aku. Sesekali menangis. Menangisi diriku sendiri.

“Maybe You opened my heart with a knife~”

Sekali, dua kali, terjerambab dalam lubang yang serupa. Kali ini tidak menghadirkan luka. Justru aku berbunga-bunga. Aku semakin menghargai sendiriku yang berharga. Aku mulai menutup tirai dibelakangku dan membuka tirai demi tirai didepanku.

Aku memutuskan untuk menulis (lagi) buku. Menyibukkan diri dengan naskah film buatanku, memproduserinya sendiri. Aku menyewakan kafe jerih payahku untuk biaya pembuatan film. Kurampungkan semua lukisan dan mengadakan pameran lukisan atas labelku. Aku mulai serius di kemampuan bermusikku. Aku mulai menyentuh gitar tuaku (lagi) dan piano peninggalan kakek. Sebelumnya aku sudah merilis beberapa single lagu. Kali ini kuputuskan untuk merilis album. Aku punya semangat untuk itu. Kutulis semuanya sendiri. Aku menjadi orang yang sangat sibuk. Salah, menyibukkan diri.

Kurasa hidup seperti ini lebih kusukai. Aku menjadi lebih bersemangat dan tidak sibuk memikirkan orang lain yang bisa saja tidak pernah sekalipun memikirkan aku. Aku mulai terjun di beberapa agenda sosial. Bekerjasama dengan beberapa perusahaan nasional dan multinasional untuk membangun sekolah-sekolah di pelosok negeri, aku berkontribusi bersama tim decorator ruang. Yah, menggambar tembok-tembok ruangan yang akan memotivasi siswa dalam belajar. Semoga apa yang kulakukan selalu memberikan manfaat.

“The way I love. The way I want. The way I want to keep. Keep being me~”






6/28/2015

Keeping

Dearest,


“We were so easy in many things, before. Now, everything is feeling so hard.”

Since it’s been a long time we’ve been together, as a friend. You are a comfy one, I feel comfortable. I don’t know it was errgh what people say about thing called love. And I just spent my life so simple like that, before I know. Many word that I can’t say again today.

I can’t say again what I prepared. I just got blank in front of your house. I want to confess while looking into your eyes. I couldn’t say. . . I was too scared, I was too frightened. And I thought you would go far from me. So I keep this love alive. Even nobody knows, it is okay, and I’m okay.


June, 28-2015

Daf-


6/18/2015

Choose With It or Without

“Sendiri bukan mencari, apalagi menanti. Sungguh sendiri adalah pembelajaran, mempelajari diri sendiri.”



Tergesa-gesa aku berjalan, mengejar yang tak pasti membahagiakanku, nafsu. Sombong aku melangkah, menengadah melupakan belai lembut, dunia. Berat aku merangkak, meraih sesuatu yang kadarnya bukan kadar intan permata, ikhlas.

“Sarang penyamun terkadang sengaja dibuat demikian untuk menarik perhatian.”

Perkataan seorang di seberang sana selalu terngiang dalam ingatan. Bagaimana insting harus diimbangkan dengan keinginan kuat untuk mendapatkan sesuatu. Banyak jalan belakang yang memuluskan. Banyak jembatan yang sebenarnya itu semu. Banyak jalan yang memang tidak diterangi, tidak lain agar kamu sekalian mencari penerang agar tidak ada yang tersesat. Betapa hati-hatinya sosok sendiri.

“Setiap insan sudah dituliskan dengan pasangan mereka.”

Kontruksi pemikiran demikian memang sudah mengakar mendarah daging sampai jaman sekarang ini. Rasanya aneh jika mereka sendiri. Apa yang aneh? Pemikirannya yang aneh. Andai dia berpikir sendiri itu hal biasa, maka tidak ada yang aneh—dan semuanya akan biasa saja. Tidak, tidak ada yang aneh. Pilihan masih diberlakukan. Sungguh bukan masalah karena ada pilihan untuk sendiri atau tidak.

Choose to live alone not mean have no risk. But you’ve through this whole time with risk, alone.



“Tidak ada yang aneh. Asal tetap ada cinta.”

Jangan lupa, sendiri bukan berarti tidak mencinta. Berbagi cinta kepada mereka yang butuh cinta. Betapa bahagia anak-anak di jalanan yang ditodong tagihan harian jika diberi cinta yang sama. Andai tidak ada yang mempermainkan mereka. Cinta itu penuh ketulusan. Bualan tentang cinta sudah salah kaprah.

Love can heal. It is can mend your wound within your soul. Love will make your burden get light. But love can hurt, sometimes. Even it can get hard, but that thing will make you feel alive.

“Bukan jaminan sendiri tidak bahagia.”

Tidak ada batasan utnuk mencintai. Satu titik, dua titik, tiga titik, dan beberapa titik lain akan lebih pekat. Sendiri bukan berarti selalu sendiri. Naif. Betapa bahagianya bercanda di satu rumah besar dengan tawa tulus tanpa cela suara dari seberang. Mereka bahagia meski bukan dari satu ibu. Mereka bersama sepanjang waktu. Menghabiskan sarapan, membaca buku, menari, menyanyi dan berkebun, bersama. Tidak sepenuhnya sendiri.

“Kamu perempuan, carilah seseorang imam yang mampu membawakanmu pintu surga.”

Alangkah indah dan bahagianya jika membawa sendiri pintu surga itu, kenapa harus mencari seseorang? Betapa berharganya kunci pintu surga itu jika dibawa sendiri. Ada amalan yang membawakan pintu surga, ada pula yang tidak. Pilihlah.

Banyak yang bernama imam? Iya. Jika pintu masjid masih terbuka, apa salahnya berjamaah. Jika di Qur’an jumlah perempuan dan laki-laki sama, maka berjamaah juga berlaku untuk perempuan. Allah kan tidak pernah sekalipun mempersulit hamba. Jika sekali merasa sulit, artinya Allah percaya bahwa hamba bisa membuatnya terasa sebaliknya.

“Sungguh hidup itu anugerah. Apalah arti hidup tanpa cinta. Apalah arti cinta tanpa ketulusan. Apa arti ketulusan jika menyakiti diri sendiri. Cintailah dirimu sendiri dahulu. . .”

Titik (.) selalu menghardik tanya. Anggap itu hanya imbuhan tanda tanya (?) di akhir kalimatnya. Mengapa tidak satu? Jawabannya adalah ‘hanya’. Jika ada pilihan spasi tunggal, ganda, dan lain sebagainya, mengapa harus ada satu titik? Mudahkanlah.


Bahagia dengan sendiri. Berbagi cinta dengan mereka. Mencintai tidak harus memiliki. Ini bukan cinta semu. Kehidupan ini tidak semu. Apalagi kehidupan setelahnya. Jangan katakan waktu akan merubah, karena tidak. Tidak akan tega waktu merubah, manusialah yang mengubah. Waktu akan senantiasa berjalan layaknya ia berjalan.


6/07/2015

Telisik Cerita Bee


“Kerap hati memohon, enggan kaki melangkah. Kerap cinta berkata, enggan hati merestui. Kerap kata melukai, enggan cinta meninggalkan.” (BC,2015)

Tenang adalah hilangnya hingar suara deru jalanan, lenyap asap pemburu, nyiur rumput miringkan tubuhnya, sabit lengkung mata tersenyum melihat semua itu. Tenang jiwa, pikiran dan hati. Menyingkirkan sejenak takut dan khawatir dalam benak. Tapi, bisakah mama tenang sejenak di rumah panpa mengkhawatirkan aku?

“Ma, Bee sudah besar. Bee bisa jaga diri, percaya sama Bee.” Aku menenangkan mama yang mulai menangis di telepon.

“Mama kangen kamu, Bee. Masa mama di rumah sendirian? Iya mama percaya, sayang.” Kalau sudah begini bakalan panjang urusannya.

“Bi Nomin udah pulang ma? Sana temenin bibi siapin masakan buat makan malam.” Aku berdecak sebal di tempatku.

“Bee, bi Nomin bukan kamu. Kamu jangan tidur terlalu malam. Ingat, lusa kamu minum obat. Kalender dilihat. Kamu harus rajin reminder-checking ya.” Aku hanya meng-Hm-mm di telepon.

“Yap, sir. But mam, I’m not dying person. So I should spend my whole time peacefully.

Shut up, see you soon, Bee. Muach.” Aku menghembuskan nafas lega. Rasanya telepon mama panjangnya lebih dari dua kali 3 SKS di kuliah.

Mama terkadang suka berlebihan khawatir. Aku hanya satu dua kali mimisan dalam seminggu. Suka muntah-muntah juga jika salah makan. Apalagi asma yang kerap kali kambuh membuatku kerepotan mengurus urusan pribadi. Aku harus rajin melakukan elektrokardiogram beberapa bulan sekali, untuk mengontrol kerja jantungku. Seringkali dia berdetak tidak normal, hanya begitu, tapi mama bertindak seolah aku akan mati besok.

‘Takdir manusia itu Tuhan yang atur. Sapo tahu kao besok mati.’ Kata salah seorang teman. Ya, teman-temanku begitu menikmati hidup. Gratitude for all the things they had. So do I (on trying).

Perasaan memang begitu mudah dikelabuhi. Tapi apalah apalah hati menyikapi, terkadang cinta membuat semuanya terasa kabur. Berusaha menenangkan bukan pekerjaan mudah, karena harus ada jaminan. Mana jaminanku untuk membuat mama tenang? Dengan tidak mendapat panggilan emergency dari rumah sakit. Dengan tidak mendapati pesan pendek yang meminta uang tambahan karena harga obat naik. Intinya dengan jaminan sembuh. Sembuh dari segala macam ke-belum-sembuh-an dalam diriku.

Begitu banyak kata-kata permohonan, apalah arti jika si pemohon hanya diam dan tidak berjalan satu langkah pun. Bagaimana bisa sampai garis finish jika tidak pernah menginjakkan kaki di start. Seperti itu mungkin hidup, bagaimana kamu bisa merasakan hidup jika nafas saja tidak pernah kamu syukuri. Seperti itulah kebahagiaan, hal kecil saja tidak pernah kamu hargai bagaimana meminta hal-hal besar yang dikalkulasi sebagai bahagia.

Jejak harianku hanya kutuangkan dalam sajak, tidak peduli syarat makna atau tidak, memiliki rima atau hampa. Aku hanya menuliskannya.

Gadis berkalung kabung melambai haru
Senyum diselubungi pendar risau
Gadis ringkih bertabur cinta sendiri
Mengalun merdu bersama habisi waktu
Terseret langkah kaki pada deru ketakutan
Jerat rengkuhnya dalam nestapa istimewa
Aih, solitude cinta bidadari
Ketakutan ditinggal sendiri
Habisi sisa sendiri, tertiup angin pendar mungilnya
Bidadari meraung merindu ingin pengganti

“Gantikan yang baru tapi sama. Ah tidak, pertemukan saja aku dengannya lagi.”

Gadis berkalung kabung sudah pergi
Tanpa risau dan tinggalkan sepi
Burung gereja bersiul melepasmu
Tudung menyelimuti ragawi
Menanti jalan diatas kereta gantung kaki manusia

Gadis berkabung cinta bidadari


6/06/2015

Rasa Itu. . .

“Bila setengah hati menanti, maka setengahnya lagi menunggu. Bila separuh hati selalu terjaga, bisakah sebagian lain melupakan?”

Rasa Yang Kau Tinggal

Jangankan meminta menunggu setengah jam kedatanganmu, lima tahun saja kulalui tanpa protes dan hanya sabar menunggu. Menanti jawaban yang tak pernah pasti. Merundung rindu yang tak kunjung bertemu. Membius luka yang sebenarnya tak pernah ada. Perasaan takut yang selalu memburu bahwa tak ada harapan akan dirimu. Sementara kamu justru semakin menjauh. Aku berdiri menanti, kamu berlari tanpa memandang lagi kearahku. Bukan benci, hanya kamu memang tidak pernah menganggap ini ada. Perasaan ini yang tanpa sengaja membuatku penasaran akan kamu, berpikir tentangmu dan apapum yang ada dalam dirimu.

Kamu memegang kuat wasilah dan gayyah yang diajarkan untukmu. Sungguh kamu bukan kesalahan, dan tolong jangan yakini aku sebagai luka. Di ambang malam selalu kutengok wajah sendumu yang menerawang jauh entah kemana. Aku tidak sanggup melampaui itu. Semakin kutambah dosa setiap memikirkanmu. Akankah pandangan keluargamu mengenai pemikiranku tetap sama? Aku tidak berhak menyalahkan mereka, hanya tolong rengkuhlah inginku untuk selalu bersamamu. Apakah aku terlalu memaksa apa yang tidak mungkin?

Hingga pada saat hari itu, kita dipertemukan oleh waktu yang tak pernah merubah. Hanya aku berharap kamulah yang berubah. Kamu tersenyum padaku, aku menahan nafas. Seolah tidak pernah ada sesuatu di antara kita, ya memang tidak ada yang pernah terjadi. Kamu memilih memindah piring saladmu ke mejaku. Kita duduk berhadapan di meja yang sama.

“Aku bukan perempuan seperti bunga mawar.” Celetukmu di selah keheningan antara kita.

“Hng?” Aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang kamu maksud.

“Aku bukan puzzle seperti kebanyakan.” Kamu lagi-lagi membuat pernyataan yang tidak sepenuhnya kumengerti.

“Apakah aku punya kesempatan untuk menyelesaikan puzzle bukan kebanyakan itu?” Mendengar pertanyaanku, kamu memilih menyudahi makan saladmu dan memilih menatapku sekilas dan berpaling melihat benda lain.

Kamu lagi-lagi tersenyum. Aku akan dirajam lama-lama terlalu dalam jatuh kedalam pesonamu. Aku terlalu asyik menatapmu, tak memperdulikan kamu yang sedang risih dipandang. Aku segera berpaling meski meninggalkan sisa semburat merah. Kemudian kamu ijin setengah jam untuk mengangkat telepon, dengan senang hati aku mengangguk. Jangankan setengah jam, lima tahun saja aku melalui tanpa niatan untuk mengakhiri. Lima tahun setelah aku menyatakan perasaanku dan hanya kau jawab dengan gelengan kepala dan senyuman di bibirmu yang tidak pernah berupaya melukai.

Setengah jam kemudian,

“Oh ya, aku ingin menjawab pertanyaanmu. Ehm-mm, aku sengaja membuang pecahan puzzlenya dan ingin fokus pada gayyah.”


Jawaban setelah lima tahun menunggu dan menanti sama sekali bukan jawaban yang kubayangkan sebelumnya. Kamu memang sengaja tidak akan pernah membuka hati, kamu  sengaja membuang kunci hatimu. Kamu berusaha untuk tidak melukai, tapi tanpa sadar aku terluka dengan jawabanmu karena memang aku sebenarnya yang salah. Ah, aku sudah berburuk sangka tentang wasilahmu yang memang berbeda dari bunga mawar kebanyakan. Semoga kita dipersatukan oleh Tuhan. Sang Maha membolak-balikkan hati manusia.


Terima Kasih, Aku punya Kalian



Terkadang mengucapkan terimakasih lewat tulisan jauh lebih mudah dibandingkan secara langsung. Begitu juga menyampaikan perasaan, terkadang lewat tulisan lebih mudah dipahami. Wahai sang penjelajah rasa.

Konon, cinta itu tumbuh karena terbiasa. Konon, suka itu dari mata jatuh ke hati—keseret ke perut terus bikin kupu-kupu gentayangan. Konon, anak perempuan itu lebih dekat dengan Ayah. Konon seorang anak ‘jatuh cinta’ pertama adalah kepada orangtuanya. Jika itu benar, maka saya salah satunya. Mengagumi sosok orangtua yang tulus adanya mengasihi kita. Pernah mereka meminta upah? Pernah mereka minta pujian atas jasanya merawatmu? Pernah mereka membuka aib kamu kepada orang asing? Sungguh tak bisa disejajarkan dengan apa yang telah saya lakukan untuk mereka. Huft.

“Urusan dunia itu sudah ditulis sama Allah, urusan akhirat ada di tanganmu. Tinggal kamu memilih untuk memenuhi catatan pundak kanan atau kiri.” Mum selalu memberikan petuah-petuah kehidupan dibumbui agama. Love you.

Ibu tidak pernah muluk-muluk meminta anaknya untuk ini dan itu. Beliau selalu tidak lupa untuk mengingatkan untuk ibadah. Niat yang baik tiap melakukan segala sesuatu. Membaca bismillah jangan lupa. Jangan lupa makan, minum obat, vitaminnya jangan lupa diminum. Mandinya yang rajin.

“Hidup orang lain bukan milikmu, hidupmulah milikmu.” Dad ini memang paling bisa bikin gemetaran. Love you.

Beda lagi dengan sosok yang membuatku selalu jatuh cinta, mengingatkan untuk tidak bermegah, karena itu tidak akan membawamu pada damai kubur. Jangan sakiti lambungmu, makan teratur. Olahraga. (Tahu banget saya mager)

Perkara tauladan yang paling sempurnanya ummah, ya Rasulullah. Kebaikannya kaffah tidak setengah-setengah, konsistensinya tidak putus ditengah jalan. Jelas tidak ada yang rugi ittiba’ dengan jalan rasul.

Oh ya, saya suka naik motor. Yang pertama kali membuatku ingin bisa mengendarai motor adalah om (karena doi memboncengku saat sembilan). Kecepatan penuh membuatku berpikir itu keren. Akhirnya setelah bisa mengendarai motor, justru menyalahgunakannya. Mohon maaf saya pernah mengalami masa kelam bersama anak motor lainnya. Namun om mengajarkanku banyak hal, tidak hanya berpikir mengendarai dengan kecepatan penuh itu keren. Tapi, profesinya yang tak semua orang segan, yaitu polisi, membuatku berpikir betapa keras dan berat tanggung jawabnya. Dedikasi untuk pekerjaannya begitu tinggi, bangun dini hari, pulang sore—bahkan malam—tak sekalipun membuatnya mengeluh. Begitu mengayomi keluarga kecilnya. Semangat om, love you.

Perkara umur tidak menjadikan yang lebih muda tidak bisa jadi inspirator. Dia adalah remaja awal yang baru menginjakkan kakinya setahun belakangan ini di lingkungan pesantren. Dia dengan senang hati merelakan masa-masa di rumah.

“Toh nanti rindunya dibayar pas libur sekolah, mbak.” Katanya polos.

“Ya kangen, tapi kan di pondok juga semuanya pada jauh dari rumah. Mau iri ke siapa? Kita hidup disini sama.” Itu kalimat yang kerap jadi andalannya saat ditengokin di pesantren ditanya, ‘kamu kangen rumah gak?’ maka begitulah jawabannya.

Saat dia ditawari mau dibawain dari rumah dia jawab singkat padat meski tidak sepenuhnya jelas.

“Tidak usah, bawa yang bisa dimakan rame-rame di ruangan pondok muhajirin dua buuk,” Katanya ke Ibu.

Dia begitu sadar hidup di pesantren itu apapun serba sederhana. Makan, pakaian, peralatan dan perlengkapan di kamar semuanya sama . Tidak ada bedanya fasilitas anak pejabat atau petani biasa seperti dia. Love you, brotha.

Saya belajar banyak hal dari mereka yang mengajarkan kebaikan. Oknum HS, dia adalah aktris dari negeri ginseng yang entah mengapa membuat saya begitu mengagumi sosoknya. Dia sosok perempuan tangguh yang memulai karirnya dari nol. Meski dia bergelut di dunia hiburan yang konon katanya keras, namun dia tidak melupakan pendidikannya. Dia lulusan S1 Filsafat dan S2 Seni. Dia pandai bermain music, gitar dan piano. Pandai melukis, dia konsentrasi abstrak. Sudah menyelesaikan sekitar tiga novel yang ketiganya penuh dengan nilai filsafat dan seni. Dia perempuan yang cerdas. Artis yang serba bisa dan memanfaatkan kekurangan untuk kelebihannya.

Mengenal sosoknya lebih dari lima tahun membuat Saya begitu terinspirasi dengan kerja kerasnya, semangat belajarnya dan tidak pernah menyerah meski begitu banyak nada tidak senang dilayangkan padanya. Dia perempuan mandiri, bijaksana dan well…she is always impress me no matter what.

Terkasih guru-guru inspirasi dari SD hingga SMA, mereka luar biasa tidak pernah mengeluh punya murid sepertiku. Pecahin kaca kantor di SD gara-gara main kasti pas istirahat. Main gak jelas saat pelajaran dimulai. Main perosotan di dinding tangga, dan mendapat tatapan khawatir saat SMA. Saya rindu kalian guru-guruku tersayang.

Teman dan Sahabat yang selalu ada disaat suka duka luka bahagia bahkan tanpa rasa. Terinspirasi dengan semangat pertemanan kalian, kuatnya kalian bertahan dengan sosok seperti saya yang begini adanya. Kalian luar biasa.

Kepada Michael Buble yang lagunya selalu menginspirasi saya segera membuka lembar baru untuk menuliskan imajinasi. Liriknya menyentuh, nadanya syahdu. Membuat usaha sebelum sepertiga malam terlelap selalu gagal dan membuatku terlambat bangun. Tapi, kekuatan lagunya sangat menginspirasi, tenang dan dinamis.

Inspirator selanjutnya adalah tulisan Tere-Liye yang selalu mengajarkan untuk berpikir positif dan tidak gegabah. Kemudian tulisan Kak Susan yang menambahkan ilmu-ilmu agama dalam setiap novelnya yang membuat saya belajar tanpa beban dari tulisannya. Kalian hebat.


Terima Kasih, Aku punya Kalian~

#WritingChallenge #Inspirator #BloggerHIUnair2012 #With #Alya #Dawud #Mahrita #Mayka