4/24/2018

Rumah

"I'm afraid to lose something that even not mine--"

Lagi-lagi aku dibingungkan dengan kenyataan bahwa keinginan untuk mencari tahu apa makna sebenarnya dari rumah mendadak kembali mencuat ke permukaan dengan begitu biadabnya. Aku sibuk memikirkan hal-hal positif untuk mendefinisikannya, akan tetapi terlampau sulit. Telanjur tidak bisa percaya lagi dengan apa yang pernah kupercaya sebagai rumah. Nyatanya mengkhianati lebih dari musuh sendiri.

Jadi, seperti apa sebenarnya rumah itu? Apakah mempercayai sesuatu sebagai rumah bisa melegakan? Atau bahkan bisa jadi boomerang yang bisa sangat melukai di waktu yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. 

Bisakah kalian membayangkan? Disaat kamu sedang sangat bahagia dan masih belum larut dalam kenyataan, dan disaat itu kamu mendapati badai iblis yang menyayat hati! Bahkan bisa saja sesorang mengakhiri hidupnya saat itu juga. Atau aku bisa saja mengkahiri hidupku saat itu juga. Untungnya atau sayangnya, aku atau seseorang itu beruntung. They turn to Allah! That fact makes me sad, ever sadder that know the fact that i didn't passed the exam. Know the fact that you come to Allah when you're really in a deep dark hole! BUT, where the hell you really are when you're on top of grace? Itu benar-benar jadi pelajaran.

Benar! Tuhan memang sangat baik. Allah begitu baik kepadaku. Kepada seseorang! He allows me to learn more. To get more lessons about life, about him, and about me. I'm really trying my best not to disappoint him through my attitudes, my words, my suck capability of living this worth life, and my prays toward him. And realizing one thing, not to expect to much beside him, Allah. It's absolutely obvious, clearly true! 

Lalu dengan kenyataan itu aku mencoba untuk tidak menyibukkan diri dengan hanya mencari tahu jawaban sebenarnya tentang apa itu rumah, melainkan dengan menjalani sesuatunya dengan baik. Dengan berusaha untuk tidak mengecewakan diri sendiri, dengan tidak mengecewakan lingkungan, dan tidak mengecewakan Allah, Tuhan sang pemilik segalanya. Memang tidak pernah mudah ketika semuanya berawal dari nol. Tetapi itu lebih baik daripada tidak memulainya sama sekali. 

Semoga rumah yang sedang kita cari atau yang telah ditemukan tidak ada yang mengecewakan dan menyesakkan. Semuanya hangat dan menenangkan.

Sepertinya jika tulisan ini dilanjutkan, akan semakin banyak omong kosong dan dummy text yang tertuang disini. Mari kita sudahi, Semoga ada sesuatu yang bisa dipelajari dari tulisan ini.


4/11/2018

Aku ingin bercerita.

Bolehkah aku memulai ceritaku?

Sejak memutuskan untuk "dikantorkan", aku semakin sedikit bercerita. Aku semakin sedikit berbicara. Kepalaku rasanya penuh dengan hal-hal yang bahkan tidak kutahu apa itu. Lalu mendadak, aku merindukan teman-temanku. Atau tiba-tiba aku ingin pulang, padahal ketika di rumah aku hanya menghabiskannya untuk tidur. Bisa saja sepulang kantor aku akan pergi begitu jauh hanya untuk membeli makan malam. Atau aku akan menguras isi dompetku untuk membeli banyak buku. 

Sekitar dua minggu yang lalu, aku benar-benar berpikir "I'm done with my life". Aku menangis sepanjang hari. Aku secara tiba-tiba berusaha untuk mengingat masa-masa ketika aku bahagia! Ajaibnya, aku tidak mengingat satu pun diantaranya. Lalu aku berteriak, apa yang salah dengan ingatanku? 

Dua hari setelahnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku berbincang dengan Ayahku. Untuk satu tahun belakangan, aku tidak pernah membicarakan apapun dengan Ibuku. Aku hanya tidak ingin, dan tidak nyaman. Aku bercerita kepada Ayahku mengenai keadaanku yang tiba-tiba sedih, bahkan sempat ingin bunuh diri. Lalu dengan penuh tatapan khawatir beliau menatapku dengan nanar!

"Jangan memikirkan hal-hal yang tidak perlu!" Katanya

"Ingatlah kalau Allah itu maha baik." Katanya lagi,

"Skenario Allah itu yang terbaik." Katanya terakhir.

Aku merasa, benarkah Ayah khawatir padaku? Aku sebegitu berpikir negatifnya saking lelahnya dengan segala sesuatu yang terjadi setahun belakangan. Lalu setelah berdosanya berpikir negatif seperti itu, aku menekan dadaku sambil berkata,

"Istighfar! Ingatlah, setan itu akan selalu membisikimu dengan pikiran-pikiran jahat. Yang baik itu datang dari dalam dirimu." 

Kemudian aku memegang tangan Ayahku, berterimakasih.

Aku tahu sebenarnya aku ingin melarikan diri. Dari tempat yang seringkali orang sebut dengan rumah. Rumah yang tahun lalu kupuja-puja sebagai tempat yang pertama kurindukan ketika aku jauh. SALAH! Rumah bukanlah itu! Rumah adalah dia yang pertama ingin kukunjungi ketika aku sangat bahagia. Rumah adalah dia yang pertama kali ingin kudatangi ketika sedang gundah.

Tapi jauh di dalam hatiku, ada sebuah teriakan,

"Jangan! Apa kamu tega? Diri kamu belum cukup kuat untuk melarikan diri." Aku menyetujuinya. Aku belum cukup kuat. Aku masih lemah. Aku belum punya pondasi yang kuat. Aku tidak boleh semudah itu melarikan diri hanya karena rasa marah dan ego yang terlalu tinggi. Dan satu lagi, imanku tidak kuat dengan segala macam cacat rintangan yang akan menghalau perjalanan hidupku nantinya ketika melarikan diri. Padahal pada kenyataannya aku hanyalah seorang penakut.

Nyatanya aku hanya terlalu lama berdiam diri di stage of grief ku yang bargaining. Aku tidak melakukan penawaran, setelah melewati fase angry sekitar enam bulan, aku langsung menuju fase depression yang berulur lama, terlalu lama malah. Aku ingin segera menuju fase acceptance, but it's not that easy. Let me tell you that I'm totally fine here, livin like a normal buddy who hanging around with friend and even order a bucket of chicken fire wings! But actually I'm not. I'm trying to forgive! Mulai dari memaafkan diri sendiri, sampai berusaha memaafkan masa lalu yang bahkan tidak benar-benar kuingat.  

Setelah sesuatu yang terjadi satu tahun lalu. Aku semakin menutup diriku untuk percaya dengan orang lain. Lebih baik hidupku kucukupkan untuk diriku dan orang-orang terdekatku saja. Rasanya akan lelah ketika melibatkan orang-orang luar yang bisa saja hanya sekadar basa-basi mencari bahan pembicaraan. Aku pengecut, aku tahu. 

Aku tahu Allah sangaaaaaat baik kepadaku. Aku berada di keluarga yang lengkap. Aku didekatkan dengan orang-orang yang baik. Bahkan sampai aku dapat bekerja dengan lingkungan yang membuatku ingin selalu berkembang dan bertumbuh menjadi sesorang yang lebih baik lagi. Tapi satu, aku belum cukup baik kepada Allah. Aku terlalu sombong. Aku terlalu takabbur. Padahal sedetik saja dihentikan detak jantungku, kacau sudah sistem metabolisme tubuhku. 

Maka setelah berdebat dengan diriku sendiri, berdebat dengan lingkunganku, serta orang-orang yang ada di inner circle ku, aku memutuskan untuk belajar ikhlas. Yang ternyata aspeknya begitu banyak. Saling menghubungkan satu sama lain. Aku akan menceritakannya pada kalian ketika aku sudah mempelajarinya lebih mendalam. 

Mari terus belajar.