9/14/2018

Tentang Pernikahan

Made by Dafaid

------------
Sebal rasanya ketika seseorang yang tidak tahu menahu perihal diri kita dengan semena-mena mengomentari kehidupan kita. Ada yang bilang ketika seseorang mengomentari kehidupan kita artinya mereka peduli. Bukannya aku tidak setuju, akan tetapi bisa berarti dua. Pertama, mereka benar-benar peduli, atau yang kedua, mereka iri dengan kehidupan kita. Hidup kan sawang-sinawang, katanya.

Tidak hanya mengomentari gaya hidup kita yang menurut mereka tidak berguna. Berguna dan tidak berguna itu memiliki makna yang luas. Berguna menurutku bisa saja tidak berguna menurut orang lain.

Orang bisa saja berpikir membelanjakan gaji bulanannya untuk membeli perkakas sandang, aksesoris, make up, dan barang-barang bermerek lainnya ketimbang membeli buku dan tiket kereta kesana-kemari sepertiku—yang dianggap tidak berguna. Karena menurutku itu berguna-berguna saja. Aku menikmati buku yang kubeli. Aku menikmati setiap perjalanan yang sudah kutempuh. Aku menikmati perbincangan dan cerita di setiap perjalanan. Bagian mananya yang tidak berguna?

Tidak berhenti sampai di situ saja, mereka mengomentari usiaku yang (baru/sudah) 23 tahun—it is actually young enough to enjoy every pieces of chocolate cupcakes and a cup of ice cream—dan masih sendiri. People helloooooo? So what? Sendiri bukan berarti tidak mampu bahagia ya!

Ini tentang pernikahan, bohong kalau tidak pernah memikirkannya. Bohong jika tidak dibuat ketakutan oleh konsep mengerikan itu. Di islam, beberapa orang yang kutemui dan membahas tentang konsep tersebut, mereka mengatakan bahwa pernikahan merupakan proses penyempurnaan agama. Yakin setelah menikah agamanya menjadi sempurna, atau let’s say ilmu agama dan imannya membaik? No guarantee, honey.

Dalam rukun islam dan rukun iman islam, tidak disebutkan mengenai pernikahan dilakukan untuk sempurnakan rukun islam atau tentang iman pada pernikahan. Bukankah masih banyak aspek kehidupan lain yang lebih penting? Menyayangi bumi misalnya!

Ketika mereka bertanya,

“Kapan?”

Bukankah jodoh itu ditangan Tuhan? Lalu kenapa masih tanya-tanya saja? Memang aku tahu? Orang aku bukan Tuhan.

Boleh saja kalian mengatakan aku terlalu menganggap serius tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai pernikahan itu, tapi pernikahan bukan sebuah candaan belaka.

Tahukah kalian mengapa seseorang memilih untuk tidak menikah? Jawabannya adalah, apakah alasan seseorang untuk tidak menikah tersebut sebegitu penting buat kalian?

Orang hidup itu punya borok sendiri-sendiri. Bisa jadi salah satu borok itu yang membuat seseorang memilih untuk tidak menikah atau mempercayakan hidupnya pada sebuah konsep pernikahan.

“Aku berjanji akan membuatmu bahagia.”

Pernikahan bukan satu-satunya jalan untuk membuat orang lain bahagia. Dan, setiap janji bisa saja tidak ditepati. Janji bisa dilanggar, terlebih janji yang tidak ada jaminannya.

“Jaminan surga untukmu ketika menikah.”

Yang bisa menjamin surga untuk hambanya itu hanya Tuhan. Bukan manusia yang sukanya mengeluh tentang panas dan hujan. Mengeluh tentang kembalian alfabetamart atau indoapril berupa permen dua puluh biji karena tidak ada uang 5 ribu? Plis, what an excuse to give twenty candies instead of five thousand rupiah. Yasudah akhiri kejulidan kita pada kembalian permen itu.

“Ih nanti dah tua gak laku, gabisa punya anak, gak punya keturunan, sengsara hidupnya.”

Eh itu mulutnya dijaga kalau bicara sembarangan ya, manusia. Memangnya hidup ini hanya urusan anak dan keturunan? Sudah cukup ya jumlah manusia di bumi ini, ditambah-tambahi bukan berarti semakin baik pula bumi ini dibuatnya.

Dari situ jadi semakin mengerti mengapa seseorang terkadang memilih menanggapi hanya dengan senyuman atau diam saja daripada diberondong pertanyaan-pertanyaan anakan dari konsep itu.

Bukannya menolak atau tidak setuju dengan institusi pernikahan, tidak sama sekali! Aku senang ketika kawan dekatku menikah, memercayakan sisa hidupnya bersama seseorang yang dipercayanya sebagai penyumbang tulang rusuk. Aku mendoakan kebahagiaan mereka dengan tulus. Karena aku yakin mereka sungguh bahagia dengan pilihan itu. Semoga berkah Tuhan selalu melimpah ruah sampai akhir hayat memisahkan.

Hanya saja. . . .

Aku tidak mengindahkan klausa tentang pernikahan adalah tempat yang lebih baik untuk perempuan. Siapa yang dapat menjamin itu? Siapa yang tahu apa yang akan terjadi setelah pernikahan itu terjadi? Tidak ada yang tahu.

Hanya saja. . . .

Hanya saja aku sedih ketika melihat orang-orang yang kukasihi, diberdaya oleh pernikahan. Dibuat menangis oleh pernikahan. Dihianati oleh pernikahan. BUKAN. Bukan salah pernikahan, ini salah perasaan yang dilibatkan dalam sebuah pernikahan dan seringkali menyakiti satu maupun kedua belah pihak. Dan sedihnya lagi, mereka memilih untuk mempertahankan pernikahan itu. Dengan menyisakan sisa-sisa yang tersisa di sisa pernikahan mereka. Terlalu banyak sisa, memang sengaja.

Sayang sekali.

Semoga masyarakat, kita, teman kita, saudara, dan orang-orang terdekat semakin bijak dalam memandang sebuah pernikahan, konsep pernikahan, institusi pernikahan, maupun kehidupan pasca nantinya. Karena akan semakin banyak kepala yang terlibat dalam sebuah hubungan ‘resmi’ ini. Diperlukan yang namanya mendengarkan dan menekan ego maupun idealisme. Dibutuhkan sebuah keseimbangan.
Terima kasih untuk kalian yang berkenan menyempatkan membaca tulisan ini.

------------

Untuk kalian yang tertarik tentang topik seperti ini dapat berselancar di Magdalene.co


Tidak ada komentar:

Posting Komentar